Catatan Hendry Ch Bangun
SAYA sengaja mengambil jeda beberapa hari sebelum membuat tulisan ini, agar tidak terkesan emosional dalam menanggapi tulisan tokoh pers Dahlan Iskan, “IDI PWI” tanggal 17 Juli 2023 yang saya baca di disway.id dan banyak disebarkan ke berbagai grup WA wartawan.
Beberapa teman anggota dan pengurus PWI kecewa membaca tulisan itu, mempertanyakan kebenaran pernyataan Abah, demikian Dahlan Iskan boss Jawa Pos Group—dulu–dipanggil karyawannya. Ini antara lain kalimat yang dianggap merendahkan.
“…Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang tidak bergigi–pun di mata anggotanya sendiri?”
“Maka organisasi PWI praktis lumpuh…Tapi PWI sudah bukan apa-apa lagi.”
“IDI jangan sampai seperti PWI”
Seolah PWI begitu rendah di matanya padahal dia sendiri pernah memimpin PWI di Jawa Timur, kata teman-teman. Ada rekan dari sebuah provinsi Sumatera mengatakan, dia sendiri membaca tulisan itu setelah dapat terusan dari seorang pejabat lokal dan mempertanyakannya. “Malu rasanya PWI ditulis seperti itu,” katanya dengan nada sedih.
Saya melihat tulisan itu dari sisi berbeda, meskipun PWI yang menjadi korban karena dijadikan pembanding yang tidak setara. Mengapa karena bahkan sejak zaman Orde Lama ataupun Orde Baru, sifatnya dan kedudukan IDI dan PWI memang berbeda. “Ojo dibanding-bandingke,” kira-kira begitu ungkapannya.
Sebelum ada Undang-Undang 40/1999 tentang Pers, siapapun dan berpendidikan apapun boleh menjadi wartawan kalau dia diterima bekerja di suatu media, tidak seperti dokter yang harus lulus fakultas kedokteran atau advokat yang harus sarjana hukum. Kebijakan rekrutmen ada pada media, bukan di organisasi profesi.
Belakangan saja ada aturan bahwa media besar seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, mensyaratkan calon adalah lulusan perguruan tinggi, dan baru sejak 2011 Dewan Pers membuat aturan tentang Uji Kompetensi Wartawan sehingga seorang Penanggungjawab atau Pemimpin Redaksi suatu media harus memiliki sertifikat Kompetensi Utama.
Memang di Orde Baru, calon Pemred harus mendapat rekomendasi PWI—dan merupakan anggota PWI—tapi itu soal jabatan di media, bukan izin praktek bekerja. PWI tidak memiliki kewenangan atas penetapan syarat seseorang menjadi wartawan di suatu media.
Saya kira IDI paham betul soal ini. Tetapi dia menjadikan PWI sebagai “pelengkap penderita” di dalam tulisannya untuk membahas nasib IDI pasca diberlakukannya UU Kesehatan, karena ada kemiripannya. PWI menjadi batu pijakan untuk melompat ke pembahasan IDI. Khususnya posisi IDI dan PWI dari organisasi tunggal di zaman Orde Baru menjadi organisasi banyak seperti di profesi advokat yang sudah kita ketahui bersama. Dan IDI melakukan perlawanan, resistensi, entah karena pertimbangan apa. Layak ditulis, dan diperhatikan wartawan.
Di sisi lain saya juga menduga DI sudah lama sekali tidak terlibat dengan organisasi PWI meski beliau pernah menjabat Ketua PWI Jawa Timur (1990-1998), sehingga tidak lagi update dengan apa dan bagaimana PWI itu. Padahal PWI Jatim termasuk banyak aktivitasnya, banyak anggotanya, dan kerap dapat penghargaan. Kegiatan itu mulai dari urusan sosial, lingkungan, ekonomi, sampai kompetensi dan kesejahteraan anggota. Satu dari PWI terbaik se Indonesia.
Soal cintanya kepada PWI, saya tidak meragukan, saya alami saat 10 tahun menjadi Sekjen PWI Pusat di bawah Ketua Umum Margiono (almarhum). Saat menjadi Menteri BUMN, DI berkontribusi di kegiatan HPN, di Manado dan Palembang. DI pernah menjadi pengajar di Sekolah Jurnalisme Indonesia yang saat itu program kebanggan PWI. Bahkan dia bersedia hadir di malam penggalangan dana kegiatan PWI. Jadi anggap saja tulisan beliau itu sebagai kritik membangun, karena mungkin PWI saat ini tidak lagi dengan “bunyi” PWI di kancah nasional, kecuali sebagai penyelenggara HPN.(*)
Sumber: jurnalborneo.com